Minggu, 17 April 2011


Intisari Materi

Orang yang merenungkan sekelilingnya dengan kritis dan bijaksana akan menyadari bahwa segala sesuatu di alam semesta ini — benda hidup atau-pun mati — pasti diciptakan. Sehingga pertanyaannya adalah: “Siapakah pencipta semua ini?”
Jelas bahwa “fakta penciptaan” yang tampak dalam se-tiap aspek alam semesta, mustahil hasil ciptaan alam se-mesta itu sendiri. Contohnya, seekor kutu tidak bisa men-ciptakan dirinya sendiri. Sistem tata surya tidak dapat men-ciptakan atau mengorganisir diri sendiri. Tanaman, manu-sia, bakteri, sel darah merah dan kupu-kupu juga tidak da-pat menciptakan diri sendiri. Kemungkinan bahwa semua ini bermula “secara kebetulan” bahkan tidak terbayangkan sama sekali.
Oleh karena itu, kita berkesimpulan: segala sesuatu yang kita lihat telah diciptakan. Akan tetapi, tidak ada satu pun yang kita lihat dapat menjadi “pencipta” diri sendiri. Pencipta berbeda dan lebih unggul daripada semua yang ki-ta lihat. Kekuatan Pencipta tidak terlihat tetapi keberadaan dan tanda-tandanya terungkap dalam segala sesuatu yang ada di alam.
Orang-orang yang menolak keberadaan Allah tidak se-pendapat tentang hal ini. Orang-orang ini terkondisikan un-tuk tidak mempercayai keberadaan-Nya kecuali mereka melihat-Nya dengan mata kepala sendiri. Kaum ini, yang mengabaikan fakta “penciptaan”, terpaksa mengabaikan aktualitas “penciptaan” yang terwujud di seluruh alam se-mesta dan secara keliru membuktikan bahwa alam semesta dan kehidupan di dalamnya tidak diciptakan. Teori evolusi merupakan contoh utama usaha mereka yang sia-sia.
Kesalahan mendasar dari mereka yang mengingkari Allah dilakukan pula oleh banyak orang yang sebenarnya tidak sungguh-sungguh me-nolak keberadaan Allah tetapi mempunyai persepsi salah tentang-Nya. Mereka tidak mengingkari penciptaan tetapi memiliki kepercayaan takha-yul mengenai “di mana” Allah. Kebanyakan dari mereka berpikir bahwa Allah berada di “langit”. Mereka diam-diam membayangkan bahwa Allah berada di belakang suatu planet sangat jauh dan sewaktu-waktu mencam-puri “urusan duniawi”. Atau barangkali Allah tidak turun tangan sama se-kali: Dia menciptakan alam semesta lalu meninggalkannya begitu saja, dan manusia dibiarkan menentukan nasibnya sendiri.
Sementara itu, kalangan lain mendengar bahwa dalam Al Quran tertu-lis, Allah berada “di mana-mana”, namun mereka tidak dapat memahami maknanya. Mereka berpikir bahwa Allah mengelilingi segala sesuatu se-perti gelombang radio atau gas yang tidak dapat diraba dan dilihat.
Akan tetapi, semua gagasan ini dan juga kepercayaan lain yang tidak bisa menjelaskan “di mana” Allah (dan mungkin karena itu mengingkari keberadaan Allah) beranjak dari kesalahan yang sama. Mereka ber-prasangka tanpa dasar sehingga sampai pada pemahaman yang salah tentang Allah. Prasangka apakah itu?
Prasangka ini tentang alam dan sifat-sifat materi. Kita demikian terbia-sa dengan anggapan tentang keberadaan materi sehingga kita tidak per-nah memikirkan apakah materi benar-benar ada atau hanya bayangan. Ilmu pengetahuan modern menghancurkan prasangka ini dan meng-ungkap sebuah realitas yang sangat penting dan mengesankan. Pada hala-man-halaman berikut, kami akan mencoba menjelaskan realitas hebat yang ditunjukkan oleh Al Quran ini.
Dunia Sinyal-Sinyal Elektris
Semua informasi yang kita miliki tentang dunia tempat kita hidup di-sampaikan kepada kita melalui lima indra kita. Dunia yang kita ketahui terdiri dari apa yang dilihat mata, diraba tangan, dicium hidung, dikecap lidah, dan didengar telinga kita. Kita tidak pernah berpikir bahwa dunia “luar” mungkin berbeda dengan apa yang disampaikan indra kepada kita, karena kita telah bergantung hanya kepada kelima indra tersebut sejak lahir.
Akan tetapi, penelitian mo-dern dalam ber-bagai bidang ilmu menunjuk-kan pemahaman sangat berbeda dan menimbul-kan keraguan se-rius tentang in-dra kita serta du-nia yang kita pa-hami dengannya.
Titik awal pendekatan ini adalah bahwa gagasan “dunia luar” yang terbentuk dalam otak kita hanya sebuah respon yang diciptakan oleh sinyal-sinyal elektris. Merahnya apel, kerasnya kayu, bahkan, ibu, ayah, keluarga Anda dan segala sesuatu yang Anda miliki, rumah, pekerjaan, kalimat-kalimat dalam buku ini, hanya terdiri atas sinyal-sinyal elektris.
Frederick Vester menjelaskan apa yang telah dicapai il-mu pengetahuan tentang subjek ini:
Pernyataan-pernyataan beberapa ilmuwan bahwa “manusia adalah sebuah citra, segala sesuatu yang dialaminya bersifat sementara dan menipu, dan alam semesta ini adalah bayang-an”, tampaknya dibuktikan oleh ilmu pengetahuan mutakhir.1
Filsuf terkemuka George Berkeley mengomentari per-masalahan ini sebagai berikut:
Kita mempercayai keberadaan objek-objek hanya karena kita melihat dan menyentuhnya, dan objek-objek ini direfleksikan kepada kita oleh persepsi kita. Akan tetapi, persepsi kita hanya-lah ide-ide di dalam otak. Oleh karena itu, objek yang kita tang-kap dengan persepsi tidak lain hanya ide-ide, dan ide-ide ini pada dasarnya hanya ada di dalam pikiran kita sendiri.... Kare-na semua ini hanya ada di dalam pikiran, berarti kita telah tertipu ketika membayangkan bahwa alam semesta dan segala sesuatu memiliki eksistensi di luar pikiran kita. Jadi tidak ada sesuatu pun di sekeliling kita yang memiliki eksistensi di luar pikiran kita.2
Untuk memperjelas permasalahan ini, mari kita pikirkan indra peng-lihatan kita, yang memberikan informasi paling luas tentang dunia luar.

Bagaimana Kita Melihat, Mendengar dan Mengecap?
Proses penglihatan terjadi melalui cara yang sangat canggih. Paket-paket cahaya (foton) yang melintas dari objek ke mata melewati lensa di bagian depan mata. Paket-paket cahaya ini terpecah-pecah dan jatuh ter-balik pada retina di bagian belakang mata. Di sini, cahaya tersebut diubah menjadi sinyal-sinyal elektris, kemudian dikirimkan oleh sel-sel saraf ke bintik kecil yang disebut pusat penglihatan di bagian belakang otak. Sinyal listrik ini diterjemahkan sebagai sebuah citra setelah melalui serangkaian proses. Tindakan melihat sebenarnya terjadi dalam bintik kecil ini, yang merupakan tempat gelap pekat dan terisolasi total dari cahaya.
Sekarang, marilah kita kaji kembali proses yang tampaknya biasa dan tidak istimewa ini. Saat kita mengatakan “kita melihat”, sebenarnya kita melihat efek impuls yang mencapai mata dan muncul di dalam otak sete-lah cahaya diubah menjadi sinyal listrik. Jadi ketika kita mengatakan “kita melihat” sebenarnya kita sedang mengamati sinyal-sinyal elektris di dalam otak kita.
Semua citra yang kita lihat dalam kehidupan dibentuk di dalam pusat penglihatan, yang hanya beberapa kubik sentimeter dari keseluruhan vo-lume otak. Baik buku yang sedang Anda baca maupun dataran tanpa batas yang Anda lihat ketika menatap cakrawala tercakup dalam ruangan kecil ini. Hal lain yang harus diingat adalah bahwa otak terisolasi dari cahaya, di dalamnya benar-benar gelap. Tidak ada kontak antara otak dengan cahaya itu sendiri.
Kita dapat menjelaskan situasi menarik ini dengan sebuah contoh. An-daikan ada sebuah lilin menyala di depan kita. Kita bisa duduk di depan li-lin tersebut dan memperhatikannya untuk beberapa lama. Selama itu otak kita tidak pernah bersentuhan langsung dengan cahaya lilin. Bahkan keti-ka kita melihat cahaya lilin, bagian dalam otak kita gelap gulita. Kita meli-hat dunia yang berwarna-warni dan cerah di dalam otak kita yang gelap.
R.L. Gregory memberikan penjelasan berikut tentang aspek menakjub-kan dari melihat, suatu kegiatan yang kita anggap biasa saja:
Kita begitu terbiasa dengan melihat sehingga diperlukan lompatan imajinasi untuk menyadari bahwa terdapat kerumitan di balik ini. Tetapi cobalah pikirkan hal ini. Mata kita diberi citra kecil dan terbalik, dan kita melihat benda-benda nyata di sekitar kita. Dari pola simulasi pada retina mata inilah kita memahami dunia benda, dan ini adalah suatu keajaiban. 3
Proses mendengar terjadi dengan cara yang sama. Telinga luar me-nangkap suara melalui daun telinga dan membawanya ke telinga bagian tengah; telinga bagian tengah meneruskan dan memperkuat getaran suara ini ke telinga bagian dalam; telinga bagian dalam mengubah getaran suara ini menjadi sinyal-sinyal elektris dan mengirimkannya ke otak. Seperti halnya mata, tindakan mendengar berakhir di pusat pen-dengaran dalam otak. Otak kita terisolasi dari suara seperti halnya terisolasi dari cahaya. Oleh karena itu, bagaimana-pun gaduhnya di luar, bagian dalam otak sunyi senyap.
Meskipun demikian, suara paling lemah pun bisa di-tangkap dalam otak. Proses ini sangat presisi sehingga teli-nga orang sehat mampu mendengarkan suara apa pun tan-pa gangguan atau interferensi asmosferik. Dalam otak yang terisolasi dari suara, Anda menangkap simfoni orkestra, ke-bisingan di tempat ramai dan semua jenis suara dalam ren-tang frekuensi yang lebar mulai dari desir dedaunan hingga deru pesawat jet. Namun jika pada saat itu tingkat suara dalam otak Anda diukur dengan suatu peralatan sensitif, akan didapati bahwa di dalam otak sepenuhnya sunyi.
Persepsi kita tentang aroma terbentuk dengan cara yang sama. Molekul-molekul 'volatil' (mudah menguap) yang dikeluar-kan benda seperti vanila atau mawar mencapai reseptor (sensor penerima) berupa rambut-rambut lembut di daerah epitel hi-dung sehingga terjadilah interaksi. Interaksi ini di-sampaikan ke otak sebagai sinyal elektris dan dipa-hami sebagai aroma. Segala sesuatu yang kita cium, baik yang enak maupun tidak, pada hakikatnya adalah pemahaman otak terhadap interaksi molekul-molekul volatil yang diubah ke dalam sinyal-si-nyal elektris. Anda menangkap bau parfum, bunga, makanan kegemaran, laut atau aroma lain yang Anda suka ataupun tidak, di dalam otak Anda. Molekul-molekul itu sendiri tidak pernah menyentuh otak. Jadi sama dengan pendengaran dan penglihatan, yang sampai ke otak Anda hanya sinyal-sinyal listrik. Dengan kata lain, semua aroma yang sejak lahir Anda anggap berasal dari objek-objek luar, sebenarnya hanya sinyal-sinyal elektris yang Anda rasakan melalui indra.
Demikian pula dengan empat macam reseptor kimiawi di bagian de-pan lidah manusia. Sensor-sensor ini menangkap rasa asin, manis, asam dan pahit. Setelah serangkaian proses kimia, sensor-sensor rasa mengubah persepsi rasa ini ke dalam sinyal elektris dan mengirimkannya ke otak. Si-nyal-sinyal ini dipahami sebagai rasa oleh otak. Rasa yang Anda peroleh ketika Anda memakan coklat atau buah yang Anda suka merupakan inter-pretasi sinyal-sinyal elektris oleh otak. Anda tidak pernah dapat menjang-kau objek di luar tersebut; Anda tidak pernah dapat melihat, mencium atau merasakan coklat itu sendiri. Sebagai contoh, jika saraf pengecap yang terhubung ke otak dipotong, apa pun yang Anda makan tidak akan sampai pada otak; Anda akan kehilangan kemampuan mengecap.
Sampai di sini, kita mendapati fakta lain: kita tidak pernah bisa yakin bahwa apa yang kita rasakan ketika kita mengecap makanan adalah sama dengan apa yang orang lain rasakan ketika dia mengecap makanan yang sama, atau apa yang kita tangkap ketika kita mendengar bunyi adalah sama dengan apa yang ditangkap orang lain ketika dia mendengar bunyi yang sama. Terhadap fakta ini, Lincoln Barnett mengatakan bahwa tidak seorang pun dapat mengetahui apakah orang lain melihat warna merah atau mendengar nada C sama dengan yang dilihat dan didengarnya. 4
Indra peraba kita tidak berbeda dengan indra lainnya. Ketika kita me-raba sebuah objek, semua informasi yang membantu kita mengenali dunia luar dan objek-objek dibawa ke otak oleh saraf pada kulit. Rasa sentuhan dibentuk dalam otak kita. Berlawanan dengan keyakinan umum, kita me-rasakan sentuhan bukan di ujung jari atau kulit melainkan di pusat sentuh di dalam otak. Sebagai hasil tafsiran otak terhadap stimulan-stimulan elek-tris yang datang dari suatu objek, kita menangkap rasa yang berbeda dari objek-objek tersebut seperti keras atau lunak, panas atau dingin. Kita mendapatkan semua detail informasi yang membantu kita mengenali sebuah objek dari stimulan seperti ini. Dua filsuf terkenal, B. Russell dan L. Wittgeinstein, mengungkapkan pemikiran mereka tentang fakta penting ini sebagai berikut:
Sebagai contoh, apakah sebuah jeruk benar-benar ada atau tidak dan bagaima-na buah ini menjadi ada tidak bisa dipertanyakan dan diselidiki. Sebuah jeruk hanya terdiri dari rasa yang dikecap lidah, aroma yang dicium hidung, warna dan bentuk yang dilihat mata; dan hanya sifat-sifat inilah yang dapat dijadi-kan bahan pengujian dan penelitian. Ilmu pengetahuan tidak akan pernah tahu dunia fisik.5
Tidak mungkin kita menjangkau dunia fisik. Semua objek di sekeliling kita adalah kumpulan persepsi dari penglihatan, pendengaran dan sentuhan. Dengan mengolah data di pusat penglihatan dan di pusat-pusat sensoris lain, seumur hidup otak kita berhadapan bukan dengan materi “asli” yang ada di luar kita, melainkan dengan tiruan yang terbentuk di dalam otak. Pada titik inilah kita keliru mengasumsikan bahwa tiruan-tiruan ini adalah materi-materi sejati di luar kita.

“Dunia Luar” dalam Otak Kita
Berdasarkan fakta-fakta fisik yang telah digambarkan sejauh ini, kita dapat meyimpulkan sebagai berikut: segala sesuatu yang kita lihat, sen-tuh, dengar dan indrakan sebagai “materi”, “dunia” atau “alam semesta” tidak lain hanya sinyal-sinyal listrik dalam otak kita.
Seseorang yang memakan buah pada hakikatnya tidak berhadapan dengan buah sebenarnya tetapi dengan persep-si tentang buah dalam otak. Objek yang dianggap sebagai buah oleh orang tersebut sebenarnya terdiri dari kesan-ke-san elektris di dalam otak mengenai bentuk, rasa, bau dan tekstur buah. Jika saraf penglihatan yang terhubung ke otak tiba-tiba rusak, citra buah akan hilang secara tiba-tiba. Pu-tusnya saraf yang menghubungkan sensor-sensor di hidung dengan otak akan mengganggu proses penciuman. Singkat-nya, buah hanyalah interpretasi sinyal-sinyal listrik oleh otak.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah kesan jarak. Jarak, misalnya antara Anda dan buku ini, hanya perasaan hampa yang terbentuk di dalam otak. Objek yang tampak jauh dalam pandangan seseorang terbentuk juga di dalam otak. Sebagai contoh, seseorang yang melihat bintang-bin-tang di langit beranggapan bahwa bintang-bintang tersebut berada dalam jarak jutaan tahun cahaya darinya. Akan teta-pi, apa yang dia “lihat” sebenarnya adalah bintang-bintang dalam dirinya sendiri, yaitu di dalam pusat penglihatannya. Ketika Anda membaca kalimat-kalimat ini, Anda sebenar-nya tidak berada di dalam ruangan yang Anda kira, sebalik-nya ruanganlah yang berada di dalam diri Anda. Karena me-lihat tubuh Anda, Anda jadi berpikir bahwa Anda berada di dalamnya. Akan tetapi, Anda harus ingat bahwa tubuh Anda juga sebuah citra yang dibentuk di dalam otak.
Hal yang sama berlaku pada semua persepsi Anda lainnya. Sebagai contoh, ketika An-da berpikir bahwa Anda men-dengar suara tele-visi di kamar sebe-lah, Anda sebenarnya sedang mendengar-kan suara tersebut di dalam otak Anda. Anda juga tidak dapat membukti-kan bahwa kamar tersebut benar-benar ada di sebelah kamar Anda, atau bahwa suara televisi datang dari kamar tersebut. Baik suara yang Anda pikir datang dari jarak beberapa meter maupun bisikan seseorang di sebelah Anda, ditangkap oleh pusat pendengaran yang berukuran hanya beberapa senti-meter persegi di dalam otak Anda. Terlepas dari pusat persepsi ini, tidak ada konsep seperti kanan, kiri, depan atau belakang. Jadi suara tidak datang pada Anda dari kanan, kiri atau dari udara; tidak ada arah dari mana suara tersebut datang.
Aroma yang Anda tangkap demikian pula; tidak satu aroma pun yang sampai kepada Anda dari jarak jauh. Anda beranggapan bahwa hasil akhir yang terbentuk di dalam pusat penciuman adalah aroma objek di luar. Akan tetapi, sebagaimana citra mawar di dalam pusat penglihatan Anda, aroma bunga ini pun berada di dalam pusat penciuman; tidak ada mawar atau aromanya di luar.
“Dunia luar” yang ditunjukkan oleh persepsi kita hanya kumpulan si-nyal listrik yang sampai pada otak kita. Sepanjang hidup kita, sinyal-sinyal ini diproses oleh otak dan kita hidup tanpa menyadari bahwa kita telah keliru menganggap sinyal-sinyal tersebut sebagai wujud asli objek-objek yang berada di “dunia luar”. Kita telah terpedaya karena kita tidak per-nah dapat menjangkau materi itu sendiri dengan indra kita.
Lagi-lagi, otak kitalah yang menafsirkan dan memaknai sinyal-sinyal yang kita anggap sebagai “dunia luar”. Sebagai contoh, marilah kita per-hatikan indra pendengaran. Sesungguhnya otak kitalah yang mengubah gelombang suara di “dunia luar” menjadi sebuah simfoni. Sehingga dapat dikatakan bahwa musik adalah persepsi yang dibuat oleh otak kita. De-ngan cara yang sama, ketika kita melihat warna, apa yang sampai pada mata kita hanya sinyal-sinyal listrik dengan beragam panjang gelombang. Sekali lagi otak kitalah yang mengubah sinyal-sinyal ini menjadi warna. Tidak ada warna di “dunia luar”. Apel juga tidak merah, langit tidak biru atau pohon tidak hijau. Apel, langit dan pohon terlihat seperti itu hanya karena kita mengindranya seperti itu. “Dunia luar” sepenuhnya tergan-tung pada pengindraan seseorang.
Bahkan kerusakan kecil pada retina mata dapat menyebabkan buta warna. Ada orang yang menangkap warna biru sebagai hijau, ada yang menangkap merah sebagai biru dan ada pula yang melihat semua warna sebagai abu-abu dengan beragam intensitas. Dalam hal ini, tidak penting lagi apakah objek di luar berwarna atau tidak.
Pemikir terkemuka, Berkeley, juga mengungkapkan fakta ini:
Pada awalnya, dipercaya bahwa warna, aroma dan seba-gainya “benar-benar ada”, tetapi berangsur-angsur pan-dangan seperti itu ditinggalkan, dan kemudian dipahami bahwa hal-hal tersebut tergantung pada pengindraan kita.6
Sebagai kesimpulan, kita melihat objek berwarna bukan karena objek tersebut memang berwarna atau memiliki eksistensi material independen di luar diri kita. Kebenaran materi adalah bahwa semua sifat yang kita berikan kepada suatu objek sebetulnya ada di dalam diri kita dan bukan di “dunia luar”.
Jadi, apa yang tersisa dari “dunia luar”?

Apakah Keberadaan “Dunia Luar” Sangat Diperlukan?
Sejauh ini kita telah berbicara berulang-ulang tentang “dunia luar” dan dunia persepsi yang dibentuk di dalam otak kita. Persepsi inilah yang sebenarnya kita lihat. Tetapi karena kita tidak pernah benar-benar menjangkau “dunia luar”, bagaimana kita yakin bahwa dunia ini benar-benar ada?
Sebenarnya kita tidak bisa yakin. Karena setiap objek ha-nya merupakan kumpulan persepsi dan persepsi-persepsi itu hanya ada di dalam otak, lebih tepat dikatakan bahwa dunia yang benar-benar ada adalah dunia persepsi. Satu-satunya dunia yang kita tahu adalah dunia yang ada dalam pikiran kita: dunia yang dirancang, direkam, dan dihidup-kan di sana; pokoknya dunia yang diciptakan dalam pikiran kita. Dunia persepsi inilah satu-satunya dunia yang dapat kita yakini.
Kita tidak pernah dapat membuktikan bahwa persepsi-persepsi yang kita amati di dalam otak memiliki korelasi secara materi. Persepsi-persepsi itu bisa saja berasal dari “sumber-sumber artifisial”.
Fenomena ini bisa saja diamati. Rangsangan palsu dapat menghasilkan “dunia materi” imajiner di dalam otak. Sebagai contoh, ma-ri kita pikirkan sebuah alat perekam canggih yang dapat merekam semua jenis sinyal-sinyal elektris. Pertama, kita kirim semua data yang berhu-bungan dengan suatu situasi (termasuk citra tubuh) ke dalam alat ini de-ngan mengubah data tersebut menjadi sinyal-sinyal elektris. Kedua, kita anggap bahwa otak Anda masih berfungsi meskipun terpisah dari tubuh Anda. Akhirnya, kita hubungkan alat perekam ini ke otak dengan sebuah elektroda yang berfungsi sebagai saraf dan dapat mengirimkan data yang telah direkam sebelumnya ke otak. Dalam keadaan ini, Anda akan merasa seolah-olah Anda hidup dalam situasi buatan ini. Sebagai contoh, Anda dapat dengan mudah percaya bahwa Anda sedang mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi di jalan tol. Jadi tak pernah mungkin memahami bahwa Anda hanya terdiri dari sebuah otak. Ini semua karena yang di-perlukan untuk membentuk dunia dalam otak Anda bukan keberadaan dunia nyata, melainkan ketersediaan stimulasi. Sangat mungkin stimu-lasi-stimulasi ini berasal dari sumber buatan seperti sebuah perekam.
Dalam hal ini, filsuf ilmu pengetahuan terkemuka, Bertrand Rusell, menulis:
Sentuhan yang terasa ketika kita menekan meja dengan jari-jari kita, yaitu gangguan elektris pada proton dan elektron di ujung jari kita. Menurut fisika modern, hal ini dihasilkan oleh kedekatan proton dan elektron pada meja. Jika gangguan elektris yang sama pada ujung jari kita ditimbulkan dengan cara lain, kita masih merasakan meja di ujung jari kita, walaupun meja tersebut tidak ada. 7
Memang kita mudah tertipu, mempercayai suatu persepsi walaupun dalam kenyataannya tidak ada materi yang berkaitan dengannya. Kita se-ring mengalami perasaan ini dalam mimpi. Dalam mimpi, kita mengalami kejadian, melihat orang, objek dan lingkungan yang tampak nyata. Tetapi semuanya hanya persepsi. Tidak ada perbedaan mendasar antara mimpi dan “dunia nyata”; keduanya dialami dalam otak.

Siapakah Sang Pelaku Pengindraan?
Seperti yang telah kita bahas sejauh ini, tidak ada keraguan terhadap fakta bahwa dunia yang kita pikir kita diami dan kita sebut “dunia luar” dibentuk di dalam otak kita. Akan tetapi, di sini muncul pertanyaan penting. Jika semua kejadian fisik yang kita ketahui, pada hakikatnya adalah persepsi, bagaimana dengan otak kita? Karena otak kita adalah bagian dari dunia fisik seperti halnya lengan, kaki atau objek lain, maka otak pun seharusnya merupakan persepsi seperti semua objek lainnya.
Sebuah contoh tentang mimpi akan membuat masalah ini menjadi le-bih jelas. Mari kita pikirkan bahwa kita melihat mimpi dalam otak kita se-suai dengan apa yang telah dikatakan sejauh ini. Di dalam mimpi kita akan memiliki tubuh imajiner, lengan imajiner, mata imajiner dan otak imajiner. Jika selama mimpi kita ditanya “Di mana Anda melihat?”, kita akan menjawab “Saya melihat di dalam otak saya”. Meskipun sebenarnya tidak ada otak untuk kita bicarakan, hanya ada kepala imajiner dan otak imaji-ner. Yang melihat citra-citra ini bukan otak imajiner dalam mimpi, melain-kan “sesuatu” yang jauh lebih superior daripadanya.
Kita tahu bahwa tidak ada perbedaan fisik antara situasi mimpi dan situasi yang kita sebut sebagai kehidupan nyata. Jadi ketika dalam setting yang kita sebut dunia nyata kita ditanya “di mana Anda melihat” maka ja-waban “di dalam otak” sama tidak berartinya dengan contoh di atas. Pada kedua kondisi, entitas yang melihat dan merasa bukan otak, yang bagai-manapun hanya seonggok daging.
Ketika otak dianalisa, yang ditemukan hanya lipida dan protein, mole-kul yang juga terdapat pada organisme lain. Berarti di dalam sepotong da-ging yang kita sebut “otak”, tidak ada apa pun yang dapat digunakan un-tuk mengamati citra, membangun kesadaran atau mencipta seseorang yang kita sebut “saya”.
R. L. Gregory merujuk kekeliruan yang dilakukan orang-orang ber-kaitan dengan persepsi citra di dalam otak:
Ada godaan, yang harus dihindari, untuk mengatakan bahwa mata mengha-silkan gambar di dalam otak. Gambar di dalam otak berarti memerlukan seje-nis mata internal untuk melihatnya — tetapi mata internal ini akan memerlu-kan mata lain lagi untuk melihat gambarnya… dan seterusnya tanpa akhir antara mata dan gambar. Ini benar-benar absurd.8
Fakta inilah yang menempatkan materialis — yang tidak mempercayai apa pun kecuali materi sebagai kebenaran — dalam kesulitan. Milik siapa-kah “mata di dalam” yang melihat, yang memahami apa yang dilihatnya dan bereaksi?
Karl Pribram juga menyoroti pertanyaan tentang siapakah sang pelaku pengindraan tersebut, suatu pertanyaan penting di dunia ilmu pengetahuan dan filsafat :
Sejak zaman Yunani, filsuf-filsuf telah berpikir tentang “han-tu di dalam mesin”, “orang kecil di dalam orang kecil” dan se-terusnya. Di manakah “saya”, orang yang menggunakan otaknya? Siapakah dia yang menyadari tindakan memahami? Seperti dikatakan Saint Francis of Assisi: “Yang kita cari ada-lah siapa yang melihat”.9
Sekarang mari kita renungkan: buku di tangan Anda, ru-angan di mana Anda berada, singkatnya, semua citra di de-pan Anda dilihat di dalam otak. Apakah atom-atom yang melihat citra ini? Atom yang buta, tuli, dan tidak memiliki kesadaran? Apakah tindakan kita berpikir, memahami, mengingat, merasa senang, merasa tidak bahagia dan semua hal lainnya terdiri atas reaksi elektrokimia antara atom-atom ini?
Ketika kita memikirkan pertanyaan ini, kita melihat bah-wa mencari kehendak dalam atom adalah tidak masuk akal. Jelas bahwa sesuatu yang melihat, mendengar dan merasa adalah wujud supramaterial. Wujud ini “hidup” dan dia bu-kan materi atau citra materi. Wujud ini berhubungan de-ngan persepsi di depannya dengan menggunakan citra tu-buh kita.
Wujud ini adalah “jiwa”.
Kumpulan persepsi yang kita sebut “dunia materi” adalah impian yang diamati oleh jiwa ini. Seperti halnya tubuh yang kita miliki dan dunia materi yang kita lihat dalam mimpi kita tidak memiliki realitas, alam semesta yang kita diami dan tubuh yang kita miliki juga tidak memiliki realitas.
Wujud yang memiliki realitas adalah jiwa. Materi hanya terdiri atas persepsi-persepsi yang dilihat oleh jiwa. Wujud berakal yang menulis dan membaca kalimat-kalimat ini bukan kumpulan atom dan molekul — serta reaksi kimia di antaranya — melainkan sebuah “jiwa”.

Wujud Mutlak yang Nyata
Semua fakta ini membawa kita langsung pada pertanyaan yang sangat penting. Jika sesuatu yang kita akui sebagai dunia materi hanya terdiri dari persepsi-persepsi yang dilihat oleh jiwa, lalu apa sumber persepsi-per-sepsi ini?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus mempertimbangkan fakta berikut: materi tidak memiliki kemampuan untuk mengatur eksistensinya sendiri. Karena materi adalah sebuah persepsi, maka materi bersifat “arti-fisial”. Keberadaan persepsi ini harus disebabkan oleh kekuatan lain, yang berarti bahwa persepsi sebenarnya diciptakan. Selain itu, penciptaan ini harus kontinu. Jika tidak ada penciptaan kontinu dan konsisten, maka apa yang kita sebut materi akan menghilang dan musnah. Mirip dengan televi-si, di mana sebuah gambar akan ditayangkan selama sinyal dipancarkan. Jadi siapa yang membuat jiwa kita melihat bintang, bumi, tanaman, orang, badan kita dan semua yang kita lihat?
Sangat jelas bahwa ada Pencipta Agung, yang telah menciptakan selu-ruh dunia materi, yaitu kumpulan persepsi, dan yang meneruskan pen-ciptaan-Nya tiada henti. Karena Pencipta ini menunjukkan penciptaan yang demikian hebat, Dia pasti memiliki daya dan kekuatan abadi.
Pencipta ini mengenalkan diri-Nya kepada kita. Dia telah meurunkan sebuah kitab dalam semesta pengindraan yang telah diciptakan-Nya. Melalui kitab tersebut Dia telah menggambarkan diri-Nya sendiri, alam semesta dan alasan keberadaan kita.
Pencipta ini adalah Allah dan nama kitab-Nya adalah Al Quran.
Fakta bahwa langit dan bumi atau alam semesta tidak kekal, bahwa ke-beradaannya dimungkinkan hanya oleh penciptaan Allah dan bahwa alam semesta akan musnah ketika Dia mengakhiri penciptaan ini, semua dijelaskan dalam sebuah ayat sebagai berikut:
“Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi supaya jangan le-nyap; dan sungguh jika keduanya akan lenyap tidak ada seorang pun yang dapat menahan keduanya selain Allah. Sesungguhnya Dia ada-lah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.”(QS. Faathir, 35: 41)
Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian awal, banyak orang tidak memiliki pemahaman yang benar tentang Allah sehingga mereka memba-yangkan-Nya sebagai suatu wujud yang ada di suatu tempat di langit dan tidak sepenuhnya mencampuri urusan duniawi. Dasar logika ini sebenar-nya terletak pada pemikiran bahwa alam semesta adalah kumpulan mate-ri dan Allah berada di “luar” dunia materi ini, yaitu di tempat yang sangat jauh. Pada agama-agama palsu, kepercayaan terhadap Allah terbatas pada pemahaman ini.
Bagaimanapun juga, sebagaimana telah kita kaji sejauh ini, materi ha-nya tersusun atas pengindraan. Satu-satunya wujud nyata adalah Allah. Ini berarti hanya Allah saja yang ada: segala sesuatu kecuali Dia adalah wujud bayangan. Sebagai konsekuensinya, kita tidak mungkin mema-hami Allah sebagai wujud yang terpisah di luar seluruh materi. Allah ten-tu saja “di mana-mana” dan meliputi semuanya. Kenyataan ini dijelaskan dalam Al Quran sebagai berikut:
“Allah tidak ada Tuhan melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Siapakah yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka ti-dak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dike-hendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Mahatinggi lagi Ma-habesar.” (QS. Al Baqarah, 2: 255) !
Fakta bahwa Allah tidak terikat ruang dan bahwa Dia meliputi segala sesuatu, dinyatakan dalam ayat lain sebagai berikut:
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah, 2: 115)
Karena masing-masing wujud material adalah persepsi, mereka tidak dapat melihat Allah; tetapi Allah melihat materi yang Dia ciptakan dalam segala bentuknya. Dalam Al Quran, fakta ini dinyatakan dengan: “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.“ (QS. Al Anaam, 6: 103)
Kita tidak dapat menangkap keberadaan Allah dengan mata kita, tetapi Allah secara menyeluruh meliputi diri kita, baik bagian dalam maupun bagian luar, termasuk penglihatan dan pemikiran kita. Kita tidak dapat mengucapkan satu kata atau menarik satu napas pun kecuali dengan pengetahuan-Nya.
Ketika kita mengamati persepsi-persepsi sensoris dalam perjalanan hidup kita, wujud terdekat dengan kita bukan sa-lah satu dari pengindraan ini, melainkan Allah sendiri. Ra-hasia ayat Al Quran berikut terungkap dalam kenyataan ini: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami le-bih dekat kepadanya daripada urat lehernya,” (QS. Qaaf, 50: 16). Ketika seseorang berpikir bahwa tubuhnya tersusun atas “materi”, dia tidak dapat memahami fakta penting ter-sebut. Jika dia menjadikan otaknya sebagai “dirinya”, maka tempat yang dia maksud sebagai luar hanyalah 20-30 senti-meter darinya. Namun, ketika dia memahami bahwa materi sebenarnya tidak ada dan bahwa segala sesuatu hanya ima-jinasi, maka pengertian seperti luar, dalam atau dekat akan kehilangan arti. Allah meliputinya dan Dia “sangat dekat” dengannya.
Allah memberitahu manusia bahwa Dia berada sangat dekat dengan mereka melalui ayat "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat..." (QS. Al Baqarah, 2: 186). Ayat lain berkaitan dengan fakta yang sama: “Dan (ingat-lah), ketika Kami wahyukan kepadamu: 'Sesungguhnya (ilmu) Tuhanmu meliputi segala manusia'. (QS. Al Isra, 17: 60).
Manusia keliru dengan berpikir bahwa wujud yang terdekat dengan-nya adalah dirinya sendiri. Allah sebenarnya lebih dekat dengan kita dari-pada kita sendiri. Dia menyeru kita agar memperhatikan hal ini dalam ayat “Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, padahal ka-mu ketika itu melihat, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu. Tapi kamu tidak melihat” (QS. Al Waaqiah, 56: 83-85). Sebagaimana di-sampaikan dalam ayat tersebut, orang-orang hidup tanpa menyadari fakta luar biasa ini karena mereka tidak melihat dengan mata mereka.
Sebaliknya, manusia yang hanya berupa wujud bayangan tidak mung-kin memiliki kekuatan dan kehendak lepas dari Allah. Ayat “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu” (QS. Ash Shaffaat, 37: 96) menunjukkan bahwa segala sesuatu yang kita alami terjadi di bawah kekuasaan Allah. Dalam Al Quran, kenyataan ini diung-kapkan dalam ayat: “... dan bukan kamu yang melempar ketika kamu me-lempar, tetapi Allah-lah yang melempar ...” (QS. Al Anfaal, 8: 17) di mana ditekankan bahwa tidak ada tindakan yang bebas dari Allah. Karena manusia adalah wujud bayangan, tidak mungkin wujud ini yang telah me-lakukan pelemparan. Akan tetapi, Allah memberi wujud bayangan ini pe-rasaan bahwa dirinyalah yang melempar. Dalam kenyataannya, Allah yang melakukan semua tindakan. Jadi jika seseorang beranggapan bahwa apa yang diperbuatnya adalah perbuatan dirinya sendiri, sebenarnya ia menipu dirinya.
Ini adalah kenyataan. Seseorang mungkin tidak mau mengakui kenya-taan ini dan berpikir bahwa dirinya adalah wujud yang tidak bergantung kepada Allah; namun sikap ini tidak mengubah apa pun. Tentu saja peno-lakannya yang tidak bijaksana ini juga karena kemauan dan kehendak Allah.

Segala Sesuatu yang Anda Miliki pada Hakikatnya Adalah Ilusi
Sebagaimana terlihat dengan jelas, merupakan fakta ilmiah dan logis bahwa “dunia luar” tidak memiliki realitas materialistis tetapi merupakan kumpulan citra yang dihadapkan secara terus-menerus kepada jiwa kita oleh Allah. Akan tetapi, orang biasanya tidak memasukkan, atau cende-rung tidak mau memasukkan segala sesuatu ke dalam konsep “dunia luar”.
Jika Anda memikirkan hal ini dengan tulus dan berani, Anda akan me-nyadari bahwa rumah, perabotan di dalamnya, mobil yang mungkin baru saja dibeli, kantor, perhiasan, rekening di bank, koleksi pakaian, suami atau istri, anak-anak, rekan sejawat, dan semua yang Anda miliki sebenar-nya termasuk dalam dunia luar imajiner yang diproyeksikan kepada An-da. Segala sesuatu yang Anda lihat, dengar, atau cium — singkatnya, Anda tangkap dengan kelima indra adalah bagian dari “dunia imajiner” ini. Suara penyanyi favorit Anda, kerasnya kursi yang Anda duduki, parfum yang aromanya Anda suka, matahari yang menghangatkan tubuh Anda, bunga dengan warna yang indah, burung yang terbang di depan jendela Anda, speed-boat yang bergerak cepat di atas air, kebun Anda yang subur, komputer yang Anda gunakan di tempat kerja, hi-fi dengan teknologi tercanggih di dunia....
Ini adalah kenyataan, karena dunia ini hanyalah kumpulan citra yang diciptakan untuk menguji manusia. Manusia diuji sepanjang hidupnya yang terbatas dengan persepsi-persepsi yang tidak mengandung realitas. Persepsi-persepsi ini sengaja dihadirkan secara menggoda dan memikat. Fakta ini diungkapkan dalam Al Quran:
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang ba-nyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS. Ali Imran, 3: 14)
Sebagian besar orang mengabaikan agamanya karena daya tarik keka-yaan, rumah, timbunan emas dan perak, uang, perhiasan, rekening bank, kartu kredit, lemari penuh dengan pakaian, mobil model terbaru; singkat-nya, semua bentuk kemakmuran yang mereka miliki atau mereka usaha-kan untuk memilikinya. Orang-orang seperti ini hanya memikirkan dunia ini dan melupakan hari akhir. Mereka tertipu oleh wajah dunia yang cantik dan gemerlap ini, dan tidak menegakkan shalat, memberi sedekah kepada kaum miskin, melakukan ibadah yang akan membuat mereka bahagia di hari akhir. Mereka mengatakan, “Masih ada yang harus saya kerjakan”, “Saya memiliki cita-cita”, “Saya punya tanggung jawab”, “Saya tidak pu-nya banyak waktu”, “Saya harus menyelesaikan pekerjaan”, “Saya laku-kan nanti saja”. Mereka mengisi hidup dengan berusaha hanya untuk bahagia di dunia ini. Dalam sebuah ayat dikatakan, “Mereka hanya me-ngetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka lalai tentang (kehidupan) akhirat ". (QS. Ar Ruum, 30: 7)
Fakta yang kami gambarkan dalam bab ini, yaitu bahwa segala sesuatu adalah citra, merupakan hal yang sangat penting karena implikasinya membuat semua nafsu dan batas-batas menjadi tidak berarti. Pembuktian fakta ini memperjelas bahwa segala sesuatu yang dimiliki dan diusahakan orang, kekayaan yang diperoleh dengan tamak, anak-anak yang mereka banggakan, suami atau istri yang mereka anggap sebagai bagian terdekat, teman-teman mereka, tubuh mereka, kedudukan tinggi yang mereka pertahankan, sekolah yang telah mereka ikuti, liburan yang mereka lalui: semuanya hanyalah ilusi. Oleh karena itu, semua usaha yang dikerahkan, waktu yang dihabiskan serta ketamakan mereka, terbukti tidak berguna.
Itulah mengapa sebagian orang secara tidak sadar mempermainkan diri sendiri ketika mereka membanggakan kekayaan dan harta, atau “ka-pal pesiar, helikopter, pabrik, perusahaan, rumah dan tanah” mereka, se-olah-olah semuanya benar-benar ada. Orang-orang kaya ini dengan bang-ga bepergian dengan kapal pesiar mereka, memamerkan mobil-mobil me-reka, terus membicarakan kekayaan mereka, menganggap bahwa jabatan menempatkan status mereka lebih tinggi dari orang lain, dan terus berpi-kir bahwa mereka sukses karena semua itu. Orang-orang ini seharusnya memikirkan status apa yang akan mereka dapati bagi diri mereka setelah menyadari bahwa kesuksesan itu bukan apa-apa melainkan ilusi belaka.
Dalam kenyataannya, pemandangan ini sering terlihat dalam mimpi pula. Dalam mimpi, mereka pun memiliki rumah, mobil balap, perhiasan sangat mahal, gulungan uang, serta timbunan emas dan perak. Dalam mimpi, mereka juga menempati status sosial tinggi, memiliki pabrik de-ngan ribuan pekerja, memiliki kekuasaan untuk mengatur banyak orang, berpakaian yang membuat setiap orang kagum. Seperti halnya membang-gakan kepemilikan dalam mimpi membuat seseorang menjadi bahan ejek-an, ia pasti akan dipermalukan juga jika membanggakan citra yang dilihatnya di dunia ini. Bagaimanapun juga, baik yang dilihatnya dalam mimpi maupun yang dimilikinya di dunia ini hanyalah citra dalam otak.
Sama halnya, cara orang bereaksi terhadap kejadian-kejadian yang di-alami di dunia akan membuat mereka malu ketika menyadari kenyataan sebenarnya. Mereka yang saling bertengkar sengit, berteriak-teriak marah, menipu, menerima suap, terlibat pemalsuan, berbohong, rakus menimbun uang, berbuat salah terhadap orang lain, memukul dan mengutuk orang lain, menjadi penindas, berambisi pada pekerjaan dan status, iri hati, pa-mer, menganggap diri sendiri suci, dan sebagainya, akan malu ketika menyadari bahwa mereka telah melakukan semua perbuatan ini dalam mimpi.
Karena Allah lah yang menciptakan semua citra ini. Dia lah pemilik akhir segala sesuatu. Fakta ini ditekankan dalam Al Quran:
Kepunyaan Allah lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan adalah (pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu. (QS. An Nisaa', 4: 126)
Menyingkirkan agama demi nafsu imajiner adalah kebodohan besar yang menyebabkan hilangnya kesempatan untuk kehidupan penuh berkah di surga.
Sampai tahap ini, ada satu hal yang harus dipahami dengan baik: di si-ni tidak dikatakan bahwa fakta yang Anda hadapi menyatakan “semua kepemilikan, kekayaan, anak, suami/istri, teman-teman, status yang men-jadikan Anda kikir akan lenyap cepat atau lambat, dan oleh karena itu, se-muanya tidak berarti”. Yang tepat adalah bahwa “semua hal yang tampak-nya Anda miliki sebenarnya tidak ada sama sekali, seluruhnya hanya se-buah mimpi dan tersusun atas citra yang diperlihatkan Allah untuk meng-uji Anda”. Bisa Anda lihat, ada perbedaan besar antara kedua pernyataan di atas.
Meskipun seseorang tidak langsung mau mengakui fakta ini dan lebih suka menipu diri sendiri dengan berasumsi bahwa segala sesuatu yang di-milikinya benar-benar ada, pada akhirnya ia akan mati dan segala sesuatu akan menjadi jelas pada saat ia diciptakan kembali di hari akhir nanti. “… maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.” (QS. Qaaf, 50: 22) sehing-ga ia dapat melihat segala sesuatu jauh lebih jelas. Akan tetapi, jika ia menghabiskan waktu hidupnya mengejar tujuan-tujuan imajiner, ia akan berharap tidak pernah menjalani hidup tersebut dan mengatakan, “Wahai kiranya kematian itulah yang menyelesaikan segala sesuatu. Hartaku sekali-kali tidak memberi manfaat kepadaku. Telah hilang kekuasaanku daripadaku.” (QS. Al Haaqqah, 69: 27-29).
Apa yang harus dilakukan oleh manusia bijak, di lain pihak, adalah mencoba memahami kenyataan terbesar alam semesta di sini, di dunia ini, ketika ia masih memiliki waktu. Jika tidak, ia hanya akan menghabiskan hidupnya untuk mengejar mimpi dan menghadapi hukuman pedih di akhirat kelak. Keadaan akhir orang-orang yang mengejar ilusi (atau fata-morgana) di dunia ini dan melupakan Penciptanya, dinyatakan dalam Al Quran sebagai berikut:
“Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fata-morgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apa pun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya.” (QS. An Nuur, 24: 39) !
Logika Pendek Materialis
Sejak awal bab ini, dengan jelas dinyatakan bahwa materi bukan wu-jud mutlak seperti yang dikatakan materialis, melainkan kumpulan rasa yang diciptakan Allah. Materialis menolak mentah-mentah realitas yang merusak filsafat mereka dan mengajukan antitesis yang tidak berdasar.
Sebagai contoh, salah satu pendukung filsafat materialisme abad ke-20, seorang Marxis tulen bernama George Politzer memberikan “contoh bis” sebagai “bukti terkuat” keberadaan materi. Menurutnya, filsuf-filsuf yang berpikir bahwa materi adalah persepsi, akan lari ketika mereka melihat bis (yang akan menabrak mereka), dan ini bukti eksistensi fisik materi.10
Ketika seorang materialis terkenal lainnya, Johnson, diberitahu bahwa materi hanya kumpulan persepsi, dia mencoba “membuktikan” eksistensi fisik batu dengan menendangnya.11
Contoh serupa diperlihatkan oleh Friedrich Engels, pembimbing Polit-zer dan pendiri materialisme dialektik bersama Marx. Ia pernah menulis “jika kue yang kita makan hanya persepsi, maka kue itu tidak akan meng-hilangkan rasa lapar kita”.25
Masih banyak contoh dan kalimat kasar lainnya seperti “Anda akan mengerti eksistensi materi setelah Anda ditampar” dalam buku-buku ma-terialis terkenal seperti Marx, Engels, Lenin dan lainnya.
Kekacauan pemahaman yang menyebabkan materialis memberikan contoh-contoh di atas adalah karena penjelasan “materi adalah persepsi” dipahami sebagai “materi adalah permainan cahaya”. Mereka berpikir bahwa konsep persepsi hanya pada penglihatan dan bahwa persepsi se-perti sentuhan memiliki korelasi fisik. Contoh bis yang menabrak orang membuat mereka berkata, “Lihat, terjadi tabrakan, jadi itu bukan persep-si”. Mereka tidak memahami bahwa semua persepsi yang dialami dalam tabrakan bis seperti hantaman, benturan, dan rasa sakit terbentuk dalam otak.

Mimpi sebagai Contoh
Contoh terbaik untuk menjelaskan realitas ini adalah mimpi. Sese-orang dapat mengalami kejadian yang sangat nyata dalam mimpinya. Dia bisa jatuh dari tangga sehingga kakinya patah, mengalami kecelakaan mo-bil yang fatal, tergilas bis, atau makan kue dan merasa kenyang. Kejadian-kejadian dalam kehidupan sehari-hari itu juga dialami dalam mimpi seca-ra meyakinkan dan menimbulkan perasaan yang sama pula.
Seseorang yang bermimpi bahwa dirinya tertabrak bis dapat membu-ka matanya kembali di rumah sakit masih dalam mimpinya dan menyada-ri bahwa dirinya cacat, tetapi semuanya hanya mimpi. Dia juga bisa ber-mimpi bahwa dia meninggal dalam sebuah tabrakan mobil, malaikat maut mengambil jiwanya, dan kehidupannya di alam baka dimulai. (Kejadian yang sama dialami dengan cara yang sama dalam kehidupan ini, yang se-benarnya hanya persepsi seperti mimpi tersebut.)
Orang ini dengan sangat jelas menangkap citra, suara, rasa benturan, cahaya, warna, dan semua perasaan lain yang berkaitan dengan kejadian yang dialaminya di dalam mimpi. Persepsi yang diterima dalam mimpi-nya sama wajarnya dengan persepsi dalam kehidupan “nyata”. Kue yang dimakannya di dalam mimpi mengenyangkannya, meskipun kue tersebut hanya persepsi, sebab rasa kenyang pun merupakan persepsi. Padahal pa-da saat itu, dalam kenyataan, orang ini sedang berbaring di tempat tidur. Sebenarnya tidak ada tangga, lalu lintas, dan bis. Orang yang bermimpi mengalami serta melihat persepsi dan perasaan yang tidak ada di dunia luar. Kenyataan bahwa di dalam mimpi, kita mengalami, melihat, dan me-rasakan kejadian-kejadian tanpa korelasi fisik dengan “dunia luar”, secara jelas mengungkapkan bahwa “dunia luar” sebenarnya hanya terdiri dari persepsi-persepsi.
Mereka yang meyakini filsafat materialisme, dan terutama penganut Marxisme, menjadi sangat marah ketika kenyataan ini diungkapkan. Mereka mengutip contoh-contoh pemikiran dangkal dari Marx, Engels, atau Lenin dan membuat pernyataan yang emosional.
Akan tetapi, orang-orang ini mesti berpikir bahwa mereka juga dapat membuat pernyataan ini di dalam mimpi mereka. Dalam mimpi, mereka juga dapat membaca “Das Kapital”, menghadiri pertemuan, berkelahi de-ngan polisi, terkena pukulan di kepala, bahkan merasakan sakit pada luka-luka mereka. Ketika mereka ditanya dalam mimpi, mereka akan berpikir bahwa apa yang mereka alami dalam mimpi juga terdiri atas “materi abso-lut”— sebagaimana mereka menganggap segala sesuatu yang mereka li-hat ketika bangun adalah “materi absolut”. Akan tetapi, baik dalam mimpi atau dalam kehidupan sehari-hari, semua yang mereka lihat, alami atau rasakan hanya terdiri atas persepsi-persepsi.

Contoh Penyambungan Saraf secara Paralel
Marilah kita pikirkan tabrakan mobil yang dicontohkan Politzer. Da-lam kecelakaan ini, jika saraf orang yang tertabrak — yang menghubung-kan kelima indra dengan otaknya — dihubungkan dengan otak orang lain, misalnya otak Politzer, melalui sambungan paralel, maka pada saat bis menabrak orang tersebut, bis yang sama akan menabrak Politzer yang se-dang duduk di rumahnya. Dengan kata lain, semua perasaan yang dialami orang tersebut akan dialami oleh Politzer, seperti halnya lagu yang sama didengarkan dari dua pengeras suara yang terhubungkan ke tape recorder yang sama. Politzer akan merasa, melihat dan mengalami bunyi rem bis, benturan bis pada tubuhnya, gambaran lengan patah dan darah tertum-pah, nyeri patah tulang, gambaran dirinya memasuki ruang operasi, ke-rasnya gips dan lemahnya tangan.
Setiap orang yang terhubung ke saraf tersebut secara pararel, akan mengalami kejadian yang sama dari awal hingga akhir seperti Politzer. Ji-ka orang dalam kecelakaan tersebut mengalami koma, mereka semua akan mengalami koma. Bahkan jika semua persepsi yang berkaitan dengan ke-celakaan direkam dalam suatu alat dan jika semua persepsi ini ditrans-misikan ke seseorang, maka bis akan menabrak orang ini berkali-kali.
Dengan demikian, bis penabrak manakah yang benar-benar ada? Filo-sofi materialis tidak memiliki jawaban konsisten untuk pertanyaan ini. Ja-waban yang benar adalah mereka semua mengalami kecelakaan mobil secara mendetail di dalam pikiran mereka sendiri.
Prinsip yang sama berlaku pada contoh kue dan batu.
Jika saraf dari organ indra Engels, yang merasa puas dan kenyang sete-lah makan kue, dihubungkan secara pararel ke otak orang kedua, maka orang ini juga akan merasa kenyang seperti Engels. Jika saraf Johnson, yang merasakan kakinya sakit ketika menendang batu dengan keras, dihubungkan ke orang kedua secara paralel, orang ini juga akan merasa-kan sakit yang sama.
Jadi, kue atau batu mana yang benar-benar ada? filsafat materialis kembali tidak mampu memberikan jawaban konsisten untuk pertanyaan ini. Jawaban yang benar dan konsisten adalah: baik Engels dan orang ke-dua telah memakan kue dalam pikiran mereka dan merasa kenyang; baik Johnson dan orang kedua mengalami saat-saat menendang batu dalam pikiran mereka.
Mari kita buat perubahan dalam contoh kasus Politzer. Kita hubung-kan saraf orang yang tertabrak bis ke otak Politzer, dan sebaliknya kita hu-bungkan saraf Politzer yang duduk di rumah ke otak orang yang tertabrak bis. Dalam kasus ini, Politzer akan merasa bahwa bis telah menabraknya meskipun dirinya sedang duduk di rumah; sedangkan orang yang sebe-narnya tertabrak tidak akan pernah merasakan akibat kecelakaan tersebut dan merasa bahwa dirinya sedang duduk di rumah Politzer. Logika yang sama berlaku pula untuk contoh kue dan batu.
Sebagaimana terlihat, manusia tidak mungkin melampaui dan terle-pas dari indranya. Dalam hal ini, jiwa manusia dapat dihadapkan pada semua macam situasi meskipun tidak memiliki tubuh, tidak berwujud ma-teri dan tidak memiliki bobot materi. Tidak mungkin manusia menyadari hal ini karena ia berasumsi bahwa citra tiga dimensi ini benar-benar ada dan sangat meyakini keberadaannya karena setiap orang tergantung pada persepsi yang dibentuk oleh organ-organ sensorinya.
Filsuf Inggris terkemuka, David Hume mengungkapkan pemikiran-nya tentang fakta ini:
“Sejujurnya, ketika saya menempatkan diri pada apa yang saya sebut ‘diri sendiri’, saya selalu mengakui persepsi tertentu yang berhubungan dengan panas atau dingin, terang atau gelap, cinta atau benci, asam atau manis atau konsep-konsep lainnya. Tanpa keberadaan persepsi, saya tidak pernah dapat menemukan diri sendiri pada waktu tertentu dan saya tidak dapat mengamati apa pun .”
Pembentukan Persepsi dalam Otak Bukan Filsafat Melainkan Fakta Ilmiah
Materialis mengatakan bahwa apa yang telah kita bahas dalam buku ini adalah pandangan filsafat. Akan tetapi, pernyataan bahwa “dunia luar” merupakan kumpulan persepsi adalah fakta ilmiah yang jelas, bukan sebentuk filsafat. Bagaimana citra dan perasaan terbentuk di dalam otak telah diajarkan secara detail di semua sekolah kedokteran. Fakta-fakta tersebut, yang telah dibuktikan oleh ilmu pengetahuan abad ke-20, khususnya bidang fisika, dengan jelas menunjukkan bahwa materi tidak memiliki realitas absolut dan bahwa setiap orang dapat dikatakan sedang mengamati “monitor di dalam otaknya”.
Setiap orang yang meyakini ilmu pengetahuan, baik ia ateis, penganut Buddha, atau meyakini pandangan lain, harus menerima fakta ini. Se-orang materialis mungkin mengingkari keberadaan Pencipta namun ia ti-dak dapat menolak kenyataan ilmiah ini.
Ketidakmampuan Karl Marx, Friedrich Engels, Georges Politzer dan lainnya memahami fakta sederhana dan jelas ini masih mengejutkan, seka-lipun pemahaman dan kemungkinan ilmu pengetahuan di masa mereka memang tidak mencukupi. Di masa sekarang, kemajuan ilmu dan teknolo-gi serta penemuan-penemuan terakhir mempermudah kita memahami fakta ini. Akan tetapi, materialis justru diliputi ketakutan untuk mema-hami fakta ini dan menyadari bagaimana keyakinan mereka akan hancur karenanya.

Ketakutan Besar Materialis
Buku ini mengungkapkan fakta bahwa materi hanya suatu persepsi. Untuk sementara waktu, tidak ada serangan balik yang substansial dari kalangan materialis Turki terhadap pemikiran-pemikiran yang diungkap-kan di sini. Karenanya, kami mendapat kesan bahwa maksud kami belum mereka tangkap dengan jelas dan diperlukan penjelasan lebih lanjut. Akan tetapi, belum lama ini, terungkap bahwa materialis merasa gelisah atas kepopuleran pemikiran ini dan bahkan sangat takut padanya.
Materialis dengan gencar mengungkapkan ketakutan dan kepanikan mereka melalui berbagai terbitan, konferensi dan diskusi panel. Wacana mereka yang propagandis dan tanpa harapan menyiratkan bahwa mereka mengalami krisis intelektual yang hebat. Keruntuhan ilmiah teori evolusi, yang menjadi dasar keyakinan mereka, telah sangat mengejutkan mereka. Sekarang mereka mulai menyadari bahwa mereka mulai kehilangan mate-ri itu sendiri, inti keyakinan yang lebih penting daripada Darwinisme. Ini membuat mereka lebih terpukul. Mereka menyatakan bahwa selain meru-pakan “ancaman terbesar” bagi mereka, permasalahan ini juga “merusak struktur budaya mereka”.
Salah seorang materialis yang menyatakan kepanikan dan kecemasan secara terang-terangan adalah Renan Pekunlu, akademisi dan penulis majalah Bilim ve Utopya (Ilmu Pengetahuan dan Utopia). Dalam artikel majalah yang membela materialisme ini dan diskusi panel yang diikuti-nya, Rennan Pekunlu menyatakan buku Keruntuhan Teori Evolusi (Evo-lution Deceit) sebagai “ancaman” nomor satu terhadap materialisme. Ia sudah cukup risau dengan bab-bab yang meruntuhkan Darwinisme, teta-pi bagian yang Anda baca sekarang adalah bagian yang paling menggang-gunya. Kepada para pembaca dan (hanya segelintir) peserta diskusinya, Pekunlu berpesan, “Jangan biarkan diri Anda hanyut dalam indoktrinasi idealisme dan jagalah keyakinan Anda pada materialisme”. Ia merujuk Vladimir I. Lenin, pemimpin revolusi berdarah di Rusia, sebagai panutan. Sambil menyarankan setiap orang membaca buku Lenin yang berjudul Materialism and Empirio-Criticism dan sudah berumur satu abad, Pekunlu hanya dapat mengulang kata-kata Lenin: “Jangan memikirkan persoalan ini, atau Anda akan kehilangan materialisme dan terhanyut oleh agama”. Dalam sebuah artikel yang ditulisnya pada majalah Bilim ve Utopya, Pe-kunlu mengutip pernyataan Lenin berikut:
Sekali Anda menolak realitas kebendaan, menyerah pada pengindraan, Anda telah kehilangan segala daya untuk melawan fideisme*), karena Anda telah tergelincir kepada agnotisisme**) atau subjektivisme***) — hanya itu yang di-butuhkan fideisme. Satu cakar saja terjerat, seekor burung tertangkap. Dan semua pengikut kita akan terjerat dalam idealisme, yaitu fideisme yang tidak kentara; mereka terjerat segera setelah menganggap “pengindraan” bukan lagi suatu citra dunia luar tetapi sebagai “unsur” khusus. Pengindraan, pikiran, jiwa dan keinginan bukan seperti itu adanya.12
Kata-kata ini secara eksplisit menunjukkan bahwa fakta yang menggu-sarkan Lenin dan ingin ia keluarkan dari pikirannya dan “kameradnya”; yang juga meresahkan materialis dewasa ini. Akan tetapi, Pekunlu dan materialis lain mengalami keadaan lebih menyusahkan; karena mereka sadar bahwa sekarang fakta ini dikemukakan dengan cara dan bentuk le-bih eksplisit dan meyakinkan daripada 100 tahun lalu. Untuk pertama ka-linya dalam sejarah dunia, persoalan ini dijelaskan dengan cara yang tidak mungkin ditolak.
Meski demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa sejumlah besar ilmuwan materialis tidak sungguh-sungguh menanggapi fakta bahwa “materi hanyalah ilusi”. Persoalan yang dijelaskan dalam bab ini adalah salah satu persoalan paling penting dan menarik yang pernah dijumpai seseorang dalam hidupnya. Mereka pasti belum pernah menghadapi per-soalan sepenting ini sebelumnya. Namun, reaksi ilmuwan-ilmuwan itu atau sikap mereka dalam ceramah dan artikel mereka mengisyaratkan betapa dangkalnya pemahaman mereka.
Reaksi sebagian materialis terhadap permasalahan yang didiskusikan di sini menunjukkan bahwa ketaatan buta terhadap materialisme telah merusak logika mereka, sehingga semakin sulit memahami persoalan ini. Sebagai contoh, Alaettin Senel, yang juga seorang akademisi dan penulis untuk Bilim ve Ütopya, berpesan seperti Rennan Pekunlu: “Lupakan kerun-tuhan Darwinisme, ancaman sungguhnya adalah persoalan ini”. Dia juga membuat tuntutan seperti “Buktikan saja apa yang Anda katakan” karena mera-sa bahwa filsafatnya sendiri tidak berdasar. Yang le-bih menarik adalah dalam salah satu tulisannya, ia menyatakan bahwa dirinya sama sekali tidak dapat memahami fakta yang dianggapnya sebagai ancam-an ini.
Dalam sebuah artikel yang ditulis khusus mem-bahas masalah ini, Senel menerima bahwa dunia luar ditangkap oleh otak sebagai sebuah citra. Akan tetapi, ke-mudian ia menyatakan bahwa citra terbagi menjadi dua je-nis yaitu citra berkorelasi fisik dan citra yang tidak berko-lerasi fisik, dan bahwa citra dunia luar termasuk ke dalam citra yang berkolerasi fisik. Untuk mendukung pernyataan-nya, ia memberikan "contoh telepon". Ringkasnya, ia menu-lis: “Saya tidak tahu apakah citra dalam otak saya berkole-rasi dengan dunia luar atau tidak, tetapi hal yang sama ber-laku ketika saya berbicara di telepon. Ketika saya berbicara di telepon, saya tidak dapat melihat orang yang saya ajak bicara, tetapi saya dapat mengkonfirmasikan percakapan tersebut ketika saya berte mu langsung dengannya”. 13
Dengan pernyataan di atas, Senel sebenarnya bermak-sud menyatakan: “Jika kita meragukan persepsi kita, kita dapat melihat pada materi itu sendiri dan memeriksa reali-tasnya”. Konsep ini jelas-jelas salah karena kita tidak mung-kin menjangkau materi itu sendiri. Kita tidak dapat keluar dari pikiran kita dan mengetahui apakah “luar” itu. Apakah suara dalam telepon berkorelasi atau tidak, dapat dikonfirmasikan pada lawan bicara di telepon. Namun, konfirmasi ini juga hanya persepsi yang dialami otak kita.
Sebenarnya, orang-orang ini juga mengalami kejadian yang sama di dalam mimpi mereka. Sebagai contoh, Senel dapat saja melihat dalam mimpinya bahwa ia berbicara di telepon dan kemudian me-minta orang yang ia ajak bicara mengkonfirmasikan pembicaraan terse-but. Atau Pekunlu dalam mimpinya mengalami “ancaman serius” dan menyarankan orang-orang membaca buku-buku Lenin yang sudah kuno. Apa pun yang mereka lakukan, para materialis ini tidak dapat memung-kiri kenyataan bahwa kejadian-kejadian yang mereka alami dan orang-orang yang mereka ajak bicara di dalam mimpi hanyalah persepsi belaka.
Lalu kepada siapakah seseorang dapat mengkonfirmasi bahwa citra di dalam otak berkorelasi atau tidak? Apakah kepada wujud bayangan di da-lam otaknya lagi? Tak diragukan lagi, materialis mustahil menemukan sumber informasi yang dapat memberikan data mengenai keadaan di luar otak dan mengkonfirmasikannya.
Mengakui bahwa semua persepsi terbentuk di dalam otak, tetapi juga mengasumsikan bahwa seseorang dapat melangkah “keluar” dari otak dan mengkonfirmasikan persepsi ini pada dunia luar, menunjukkan kapa-sitas pemahaman yang terbatas dan penalaran yang terganggu.
Sebenarnya fakta yang dijelaskan di sini dapat dengan mudah ditang-kap oleh orang dengan tingkat pemahaman dan penalaran normal. Setiap orang yang berpikiran lurus akan mengetahui, sehubungan dengan se-mua yang telah kita bicarakan, bahwa ia mustahil menguji keberadaan dunia luar dengan indranya. Namun, terlihat jelas bahwa ketaatan buta terhadap materialisme telah mengganggu penalaran manusia. Oleh kare-nanya, materialis kontemporer menunjukkan gangguan logika berat se-perti guru-guru mereka yang mencoba “membuktikan” keberadaan mate-ri dengan menendang batu atau memakan kue.
Seperti telah dikatakan sebelumnya pula, kondisi ini bukan sesuatu yang mengherankan; sebab ketidakmampuan memahami adalah sifat umum semua orang yang tidak beriman. Dalam Al Quran, Allah secara khusus menyatakan bahwa mereka adalah “kaum yang tidak mau mem-pergunakan akal” (QS. Al Maidah, 5: 58).
Materialis Telah Terperosok dalam Perangkap Terbesar Sepanjang Sejarah
Di Turki, gelombang kepanikan yang melanda kalangan materialis, se-perti beberapa contoh terdahulu, menunjukkan bahwa materialis meng-hadapi kekalahan telak yang belum pernah mereka hadapi sepanjang seja-rah. Fakta bahwa materi hanyalah persepsi telah dibuktikan oleh ilmu pengetahuan modern. Fakta ini dikemukakan dalam sangat jelas, jujur dan kuat. Yang tersisa bagi materialis hanya keruntuhan seluruh dunia materi, dunia yang mereka percayai secara buta dan menjadi sandaran selama ini.
Sepanjang sejarah manusia, pemikiran materialis selalu hadir. Mereka menentang Allah yang menciptakan mereka karena sangat yakin pada diri sendiri dan filsafat yang mereka pegang. Skenario yang mereka rumuskan menyatakan bahwa materi tidak bermula dan tidak pula berakhir, dan se-mua materi tidak mungkin memiliki Pencipta. Mereka mengingkari Allah hanya karena kesombongan, dengan berlindung di balik materi yang me-reka anggap memiliki keberadaan nyata. Mereka begitu meyakini filsafat ini sehingga menganggap tak mungkin ada penjelasan yang membuktikan sebaliknya.
Semua alasan di atas menjelaskan mengapa fakta-fakta yang disajikan dalam buku ini, yang berkaitan dengan sifat-sifat sejati materi, sangat me-ngejutkan mereka. Penjelasan buku ini telah menghancurkan dasar filsafat mereka dan tak menyisakan apa pun untuk dibicarakan lagi. Materi, yang telah menjadi dasar pemikiran, kehidupan, kesombongan dan penolakan mereka, lenyap tiba-tiba. Bagaimana materialisme bisa bertahan jika mate-ri tidak ada?
Salah satu kekuasaan Allah adalah rencana-Nya terhadap kaum yang tidak beriman. Hal ini dinyatakan dalam ayat “Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pem-balas tipu daya” (QS. Al Anfaal, 8: 30)
Allah menjebak materialis dengan membuat mereka berasumsi bahwa materi benar-benar ada, dan mempermalukan mereka dengan cara-Nya. Materialis beranggapan bahwa harta benda, status, jabatan, masyarakat lingkungan mereka, seluruh dunia dan lain-lainnya benar-benar ada, dan dengan mengandalkan semua itu mereka menjadi sombong terhadap Allah. Mereka menentang Allah dengan kesombongan yang melengkapi ketidakpercayaan mereka. Mereka sepenuhnya bergantung pada materi. Akan tetapi, mereka benar-benar tidak memahami bahwa Allah meliputi segala sesuatu. Allah menyatakan akibat sikap keras kepala orang-orang yang tidak beriman ini:
"Ataukah mereka hendak melakukan tipu daya? Maka orang-orang yang kafir itu merekalah yang kena tipu daya. (QS. At Thuur, 52: 42) !
Barangkali inilah kekalahan terbesar sepanjang sejarah. Sementara materialis menjadi sombong atas kemauan sendiri, mereka mengobarkan peperangan terhadap Allah, dengan cara memunculkan sesuatu yang berlebih-lebihan untuk melawannya. Dalam hal ini mereka telah tertipu dan menderita kekalahan besar. Tiada artinya kesombongan mereka di hadapan-Nya. Ayat “Dan demikianlah Kami adakan pada tiap-tiap nege-ri penjahat-penjahat yang terbesar agar mereka melakukan tipu daya dalam negeri itu. Dan mereka tidak memperdayakan melainkan dirinya sendiri, sedang mereka tidak menyadarinya” menunjukkan ketidaksa-daran orang-orang yang berperang melawan Pencipta mereka, dan apa kesudahan mereka (QS. Al An'aam, 6: 123). Dalam ayat lain, kenyataan tersebut diungkapkan sebagai berikut:
“Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, pada-hal mereka hanya menipu diri mereka sendiri sedang mereka tidak me-nyadarinya.” (QS. Al Baqarah, 2: 9)
Ketika orang-orang yang tidak beriman mencoba menyusun rencana, mereka tidak menyadari sebuah fakta penting sebagaimana ditekankan dengan kalimat “mereka hanya menipu diri mereka sendiri sedang mereka tidak menyadarinya” dalam ayat tersebut. Faktanya, segala sesuatu yang mereka alami adalah gambaran yang sengaja dirancang untuk mereka tangkap, dan seluruh rencana yang mereka susun hanyalah citra yang terbentuk di dalam otak mereka, seperti juga seluruh tindakan yang mereka lakukan. Kebodohan telah membuat mereka lupa bahwa tidak ada yang bersama mereka selain Allah, dan karenanya, mereka terjebak dalam rencana jahat mereka sendiri.
Sebagaimana kaum tidak beriman di zaman dahulu, kaum tidak beri-man yang hidup sekarang juga menghadapi kenyataan yang akan meng-hancurkan rencana jahat mereka sampai ke akar-akarnya. Dengan ayat “... Sungguh tipu daya setan itu lemah“ (QS. An Nisaa', 4: 76), Allah telah menyatakan bahwa rencana-rencana tersebut ditakdirkan berakhir dengan kegagalan sejak perancangannya, dan memberikan kabar gembira kepada kaum beriman dengan ayat “... tipu daya mereka sedikit pun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu.“ (QS. Ali Imran, 3: 120).
Dalam ayat lain Allah menyatakan: “Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatangi-nya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apa pun.” (QS. An Nuur, 24: 39). Begitu pula materialisme, menjadi “fatamorgana” bagi para pembang-kang seperti yang disebutkan dalam ayat itu; ketika mereka menemukan jalan keluar, yang mereka dapati hanya ilusi. Allah telah menipu mereka dengan fatamorgana seperti itu, dan memperdaya mereka untuk meneri-ma kumpulan citra ini sebagai suatu kenyataan. Semua orang “penting” tersebut; profesor, ahli astronomi, ahli biologi, ahli fisika dan lain-lain, apa pun pangkat dan jabatan mereka, benar-benar telah tertipu seperti anak-anak, dan dipermalukan karena mereka mempertuhankan materi. Mereka membangun filsafat dan ideologi di atas asumsi bahwa kumpulan citra tersebut absolut. Mereka terlibat dalam pembicaraan serius dan menye-butnya wacana “intelektual”. Mereka menganggap diri mereka cukup bijaksana untuk menawarkan suatu argumentasi tentang kebenaran alam semesta, bahkan membantah Tuhan dengan kecerdasan mereka yang terbatas. Allah menjelaskan situasi ini dalam ayat:
“Orang-orang kafir itu membuat tipu daya dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya”. (QS. Ali Imran, 3: 54) !
Bisa saja mereka lolos dari jebakan lain; tetapi rencana yang telah dite-tapkan Allah untuk orang-orang tidak beriman begitu sempurna sehingga tidak ada jalan untuk meloloskan diri. Apa pun yang mereka lakukan atau kepada siapa pun mereka meminta pertolongan, mereka tidak akan per-nah menemukan penolong selain Allah. Sebagaimana Allah katakan da-lam Al Quran, “... mereka tidak akan memperoleh bagi diri mereka, pelin-dung dan penolong selain daripada Allah.” (QS. An Nisaa', 4: 173)
Materialis tidak pernah menyangka akan jatuh ke dalam perangkap se-perti ini. Berbekal seluruh kecanggihan abad ke-20, mereka mengira dapat bertahan dengan pengingkaran mereka dan mengajak orang lain untuk ingkar pula. Mentalitas abadi orang-orang tak beriman ini dan akhir nasib mereka digambarkan dalam Al Quran sebagai berikut:
"Dan mereka pun merencanakan makar dengan sungguh-sungguh dan Kami merencanakan makar (pula), sedang mereka tidak menyadari. Maka perhatikanlah betapa sesungguhnya akibat makar mereka itu, bahwasanya Kami membinasakan mereka dan kaum mereka semua-nya." (QS. An Naml, 27: 50-51) !
Fakta yang disampaikan ayat ini berarti: materialis harus menyadari bahwa segala sesuatu yang mereka miliki hanya ilusi, dan karenanya se-mua itu telah dihancurkan. Saat mereka menyaksikan seluruh harta ben-da, pabrik, emas, uang, anak, suami/istri, teman, pangkat dan status, bah-kan tubuh mereka, semua yang mereka anggap ada, terlepas dari geng-gaman, mereka telah “dihancurkan” seperti dinyatakan dalam surat An-Naml ayat 51 . Pada tahap ini mereka bukan lagi materi, tetapi jiwa.
Tidak diragukan lagi, menyadari kebenaran ini mungkin merupakan hal terburuk bagia materialis. Fakta bahwa segala sesuatu yang mereka miliki hanyalah ilusi, adalah sama dengan — menurut istilah mereka — “kematian sebelum ajal” di dunia ini.
Kenyataan ini membuat mereka harus sendirian menghadapi Allah. Melalui ayat “Biarkanlah Aku bertindak terhadap orang yang Aku telah menciptakannya sendirian”, Allah menyeru manusia agar sadar bahwa manusia sebenarnya sendirian di depan-Nya (QS. Al Muddatstsir, 74: 11). Fakta yang luar biasa ini diulang dalam beberapa ayat lain:
“Dan sesungguhnya kamu datang kepada Kami sendiri-sendiri se-bagaimana kamu Kami ciptakan pada mulanya, dan kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia) apa yang telah kami karuniakan ke-padamu....”(QS. Al An'aam, 6: 94)
“Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri.”. (QS. Maryam, 19: 95) !
Dengan kata lain, fakta yang disampaikan dalam kedua ayat di atas mengandung arti: Mereka yang menjadikan materi sebagai tuhannya telah datang dari Allah dan akan kembali pada-Nya. Mau atau tidak, mereka telah menyerahkan kehendak mereka kepada Allah. Sekarang mereka me-nunggu Hari Perhitungan di mana setiap orang akan dipanggil untuk di-adili. Betapa pun mereka tidak berkeinginan untuk memahaminya .

Kesimpulan
Topik yang telah kami jelaskan sejauh ini merupakan salah satu kebe-naran terbesar yang pernah Anda temui dalam hidup Anda. Dengan mem-buktikan bahwa seluruh dunia materi ini sesungguhnya hanyalah “wujud bayangan”, topik ini menjadi kunci untuk memahami keberadaan Allah dan penciptaan oleh-Nya, di samping untuk memahami bahwa Dia-lah satu-satunya wujud mutlak.
Mereka yang memahami permasalahan ini sadar bahwa dunia ini bu-kanlah tempat seperti anggapan orang pada umumnya. Dunia bukanlah tempat mutlak yang benar-benar ada, seperti yang dipikirkan oleh mereka yang mengembara tanpa tujuan di jalanan, yang bertengkar di klab-klab, yang menyombongkan diri di kafe-kafe mewah, yang membanggakan ru-mah dan tanah, atau yang mengabdikan hidup mereka untuk tujuan pal-su. Dunia hanyalah kumpulan persepsi, sebuah ilusi. Semua orang yang telah kami kutip sebelumnya hanya wujud bayangan yang menyaksikan persepsi ini di dalam otak mereka: meskipun demikian mereka tidak me-nyadari hal ini.
Konsep ini sangat penting karena meruntuhkan filsafat materialis yang menolak keberadaan Allah, dan menghancurkan filsafat tersebut. Inilah sebabnya materialis seperti Marx, Engels, dan Lenin menjadi panik dan gusar, dan memperingatkan pengikut mereka “untuk tidak memikir-kannya” jika ada orang yang menyampaikan konsep ini. Sesungguhnya orang-orang seperti ini cacat mentalnya sehingga tidak dapat memahami fakta bahwa persepsi terbentuk dalam otak. Mereka menganggap dunia yang mereka saksikan di dalam otak adalah “dunia luar”. Mereka tidak dapat memahami bukti-bukti yang menunjukkan sebaliknya.
Ketidaksadaran ini dikarenakan Allah tidak memberi kebijaksanaan kepada mereka yang tidak beriman. Sebagaimana disebutkan Al Quran tentang orang-orang tidak beriman, “mereka mempunyai hati, tetapi ti-dak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai..” (QS. Al A'raaf, 7: 179)
Anda dapat mengkaji lebih jauh lagi dengan menggunakan kekuatan refleksi pribadi Anda. Untuk itu Anda harus berkonsentrasi, memusatkan perhatian dan merenungkan cara Anda melihat benda-benda di sekeliling Anda dan cara Anda menyentuhnya. Jika Anda berpikir dengan penuh konsentrasi, Anda dapat merasakan bahwa wujud bijak yang melihat, mendengar, menyentuh, berpikir, dan membaca buku pada saat ini hanya-lah jiwa. Jiwa ini pula yang menyaksikan persepsi yang disebut “materi” pada sebuah layar. Orang yang telah memahami hal ini dianggap telah beranjak dari tataran dunia materi yang telah menipu sebagian besar kemanusiaan, dan masuk ke dalam tataran eksistensi sesungguhnya.
Kenyataan ini telah dipahami oleh sejumlah penganut agama dan filsa-fat sepanjang sejarah. Intelektual muslim seperti Imam Rabbani, Muhyid-din Ibnu Arabi dan Mevlana Cami menyadari fakta ini dari tanda-tanda di dalam Al Quran dan dengan menggunakan akal mereka. Beberapa filsuf barat seperti George Berkeley juga telah mamahami realitas yang sama melalui akalnya. Imam Rabbani menulis di dalam Maktubah (suratnya) bahwa alam semesta materi ini adalah “ilusi dan anggapan (persepsi)” dan Allah-lah satu-satunya wujud yang mutlak:
Allah... Substansi semua wujud yang Dia ciptakan tak lain dari kehampaan... Ia menciptakan semuanya dalam tataran indra dan ilusi... Eksistensi alam semesta berada di dalam tataran indra dan ilusi, dan bukan materi... Sesung-guhnya, di luar itu tidak ada apa-apa kecuali Wujud Yang Agung (yaitu Allah).29
Imam Rabbani secara eksplisit menyatakan bahwa semua citra yang dihadapkan pada manusia hanya ilusi, dan tidak memiliki bentuk asli di “luar”.
Siklus imajiner ini digambarkan dalam imajinasi. Yang terlihat hanyalah dalam batas-batas yang digambarkan saja, walau dengan mata pikiran. Di luar, ini seolah-olah dilihat dengan mata kepala. Namun kejadiannya bukan demikian. Itu bukan penunjukan atau jejak di luar. Tidak ada apa pun untuk dilihat. Bahkan wajah seseorang yang dipantulkan oleh cermin pun sebenar-nya demikian. Tidak ada kekonstanan di luar. Tidak diragukan lagi, baik kekonstanan dan citra hanya dalam IMAJINASI. Allah, Dialah Yang Maha Mengetahui.14
Mevlana Cami menyatakan fakta serupa yang ditemukannya dengan mengikuti tanda-tanda dari Al Quran dan dengan menggunakan akalnya: “Apa pun yang ada di alam semesta adalah rasa dan ilusi. Semuanya seperti pantulan pada cermin atau bayangan belaka.”
Akan tetapi, sepanjang sejarah, orang-orang yang memahami fakta ini sangat terbatas. Intelektual terkemuka seperti Imam Rabbani menuliskan bahwa mungkin sulit menceritakan fakta ini kepada masyarakat dan keba-nyakan orang tidak bisa memahaminya.
Dalam zaman kita hidup, fakta ini telah teruji secara empiris berdasar-kan bukti-bukti ilmiah. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, fakta bahwa alam semesta adalah wujud bayangan telah digambarkan secara nyata, jelas dan eksplisit.
Dengan alasan inilah, abad ke-21 akan menjadi titik balik sejarah di mana manusia pada umumnya akan memahami realitas ilahiah dan akan berbondong-bondong menuju Allah, satu-satunya Wujud Mutlak. Dalam abad ke-21, paham materialistis abad ke-19 akan dibuang ke keranjang sampah sejarah, eksistensi dan penciptaan Allah akan dipahami, seperti dipahaminya fakta ketiadaan ruang dan waktu, manusia akan terbebaskan dari selubung, penipuan dan takhayul kuno yang menye-limuti mereka.
Tidak mungkin kenyataan tak terbantahkan ini dapat dihalangi oleh suatu wujud bayangan.




1  2  3  4  5  6  7  8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar