NAFSU NYATA NAFSU
TERSEMBUNYI
“Bagian nafsu dalam kemaksiatan itu
jelas nyata. Sedangkan bagian nafsu di dalam ta’at, itu tersembunyi dan tidak nyata.
Mengobati yang tersembunyi itu sangat sulit terapinya.”
Bahwa nafsu itu memiliki kecenderungan maksiat dan melakukan tindak maksiat itu sangat nyata dan jelas, karena naluri nafsu memang demikian. Namun ketika nafsu menyelinap di balik aktivitas taat, kebajikan, amaliah, sangat tersembunyi.
Bahwa nafsu itu memiliki kecenderungan maksiat dan melakukan tindak maksiat itu sangat nyata dan jelas, karena naluri nafsu memang demikian. Namun ketika nafsu menyelinap di balik aktivitas taat, kebajikan, amaliah, sangat tersembunyi.
Alur nafsu dalam konteks ini
memiliki tiga karakter:
Takut pada sesama makhluk,
Ambisi rizki,
Rela pada kemauan nafsu itu sendiri.
Munculnya ketiga karakter itu
bersamaan dengan selera nafsu.
Sedangkan
perselingkuhan nafsu dibalik taat dan ibadah kita begitu tersembunyi. Tiba-tiba
ia merasa lebih tinggi dibanding orang lain, lebih suci, kemudian muncul
rekayasa untuk manipulasi, dengan tujuan tertentu atau imbalan tertentu, yang
menyebabkan riya’.
Mari
kita bertanya pada diri sendiri dibalik nafsu yang tersembunyi ini. Apakah
ketika kita beribadah, melakukan aktivitas kebajikan dan amaliyah lainnya, agar
kita disebut berperan? Agar disebut lebih dibanding yang lain? Mendapat pujian
dan kehormatan orang lain? Anda sendiri dan orang-orang sholeh yang
memiliki matahatilah yang mengenal karakter itu.
Karena
itu nafsu sering bersembunyi dibalik bendera agama, dibalik aktivitas ibadah
dan gerakan massa keagamaan, bahkan nafsu merangsek ornamen penampilan
orang-orang saleh, agar disebut saleh.
Disnilah
Ibnu Athaillah juga mengingatkan berikutnya: “Kadang-kadang riya’ itu masuk
padamu, ketika orang lain tidak memandangmu.”
Kenapa
demikian? Karena riya’ itu bertumpu pada pandangan makhluk. Ketika anda
bersembunyi atau makhluk lain tidak mengenal anda, lalu anda diam-diam merasa
ikhlas, karena makhluk lain tidak melihatmu, itu pun disebut riya’. Sebab unsur
makhluk masih tersisa di hatimu.
Al-Fudhail
bin ‘Iyadh, ra, menegaskan, “Beramal demi pandangan manusia itu adalah
syirik. Sedangkan tidak melakukan amaliah karena agar dipandang manusia, adalah
riya’. Meninggalkan amal demi manusia adalah syirik. Ikhlas, adalah Allah jika
anda diampuni (lalu meninggalkan) kedua faktor di atas.”
Ketika
seseorang berlaku riya’, dalam kondisi khalwat, secara diam-diam pula ia ingin
disebut lebih utama dibanding yang lain. “Wah saya sudah suluk, saya sudah
baiat, saya sudah khalwat… Sedangkan kalian kan belum… Jelas saya lebih baik
dibanding anda…”. Bisikan lembut ini adalah bentuk ketakaburan dan riya’.
Inilah
mengapa Ibnu Athaillah melanjutkan: “Upayamu untuk meraih kemuliaan agar
makhluk mengetahui keistemewaanmu, menunjukkan bahwa ubudiyahmu sama sekali
tidak benar.”
Karena,
menurut Syeikh Zarruq, ra, manakala anda benar dalam ubudiyah pada Tuhanmu,
pasti anda tidak senang jika yang lainNya tahu amalmu.
Sebagian
Sufi mengatakan, “Tak seorang pun benar pada Allah Swt, sama sekali, kecuali
jika ia senang bila cintanya tidak dikenal oleh yang lain.”
Ahmad
bin Abul Hawary ra, mengatakan, “Siapa pun bila senang kebaikannya dipandang
orang lain atau disebut-sebut, ia benar-benar musyrik dalam ibadahnya. Karena
orang yang berbakti pada cinta, tidak senang bila baktinya dipandang oleh
selain yang dijabdi.”
Sahl
bin Abdullah ra, mengatakan, “Siapa yang senang pamer amalnya pada orang lain
ia telah riya’. Dan siapa yang ingin dikenal kondisi ruhaninya oleh orang
lain, ia adalah pendusta.”
Ibrahim
bin Adham nengatakan, “Tidak benar bagi Allah orang yang senang dengan
keterkenalan (popularitas).”
Dan
menghapus riya’ dan membersihkannya, sudah seharusnya dilakukan dengan
memandang kepada Allah Swt dan menolak selain DiriNya.
Wallaahu A’lam Bishowab
Wallaahu A’lam Bishowab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar