Rabu, 19 Oktober 2011


“UNTUK APA KITA HIDUP…”


Kalau kita mau sejenak dua jenak saja meluangkan waktu kita untuk melaksanakan amanat perintah wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad Saw, maka kita akan sangat gampang sekali untuk memahami makna hidup ini sebenarnya. Perintah itu adalah :

IQRAA…, IQRAA…, IQRAA...!. BACALAH…!.

Selama ini perintah membaca ini mungkin kita pahami sebagai perintah untuk membaca BUKU. Sehingga kita akan menjadi sangat bangga dengan banyaknya buku-buku karangan orang-orang terkenal yang menghiasi koleksi bacaan kita. Kita akan sangat senang tatkala otak kita di isi dengan berbagai bacaan-bacaan tentang ilmu pengetahuan dan/atau agama, sehingga kita kemudian dengan bangga pula mengaku sebagai seorang ilmuan dan/atau agamawan.

Tapi…, let me tell you a little secret, bahwa kalau perintah membaca itu kita artikan hanya sebatas perintah membaca buku-buku saja, maka sebenarnya saat itu kualitas kita hanyalah sebagai seorang SEJARAWAN dan SENIMAN saja. Nggak lebih, nggak kurang. Maka jadilah kita ini menjadi sejarawan dan seniman ilmu fisika, kimia, matematika, sosial, budaya, dan peradaban. Bahkan dalam bidang keagamaan pun kita ini telah sukses menjadi sejarawan dan seniman Al Qur’an, Al Hadist, taqwa, iman, khusyu’, pahala, dosa, dan sebagainya. Ya…, karena kita ini (kebanyakan) ternyata dalam membaca ilmu pengetahuan dan agama ini, hanya berkualitas sebagai seorang sejarawan dan seniman saja, maka luculah jadinya…!. Harus lucu…, nggak bisa nggak…!.

Ok…, mari kita lanjutkan, kita mulai IQRAA sejenak tentang suasana yang ada saat wahyu pertama itu turun. Begitu diperintahkan oleh Jibril untuk IQRAA (membaca), apanya yang akan dibaca oleh Beliau…?. Padahal saat itu Beliau belum punya pengetahuan apa-apa tentang serba-serbi penciptaan diri manusia, apalagi lagi tentang seluk beluk alam semesta ini. Sehingga Beliau sempat juga bingung.

Lalu, tidak berlama-lama dalam kebingungan itu, Beliau kemudian dengan perlahan-lahan dan hati-hati dituntun oleh Jibril untuk menyadari, masuk dan duduk di wilayah kesadaran, bahwa untuk bisa membaca itu, mau tidak mau haruslah hanya:

”dengan sebab INI…, TUHANMU…, BI ISMI RABBIKA..”.

Lalu, dengan merunduk-runduk Beliau “masuk dan duduk di wilayah yang ditunjukkan oleh Jibril” untuk menyadari SANG INI dengan mengucapkan:

“ALLAH…!, ALLAH…!, ALLAH…!”

Lalu, seketika itu juga Beliau mampu MENYADARI bahwa:

• YANG MELIHAT bukanlah mata Beliau, tapi penglihatan itu adalah pemberian dan milik SANG INI.
• YANG MENDENGAR itu bukanlah telinga Beliau, tapi pendengaran itu adalah pemberian dan milik SANG INI.
• YANG BERGERAK bukanlah kaki dan tangan Beliau, tapi pergerakan itu adalah pemberian dan milik SANG INI.
• YANG HIDUP bukanlah jantung dan nafas beliau, tapi kehidupan itu adalah pemberian dan milik SANG INI.
• YANG PAHAM itu bukanlah otak dan dada Beliau, tapi pemahaman itu adalah pemberian dan milik SANG INI.

INI…!. INI…!. INI…!, ALLAH…!. ALLAH…!.

Begitu Beliau mengucapkan INI, dan menghadap SANG INI, ALLAH, maka tubuh beliau pun tersungkur dan tersujud menghaturkan sembah kepada SANG INI.
Ya…, Beliau lalu berada dalam wilayah CELUPAN SANG INI (Shibgatullah). Sehingga tubuh Beliau pun bergetar hebat dan menggigil seperti kedinginan untuk beberapa waktu lamanya.
Lalu, seketika itu juga Beliau menjadi mampu membaca (IQRAA) kesempurnaan dan keserasian hubungan titik-titik kehidupan dialam semesta ini, dan tentang APAPUN JUGA, tentang SEGALA SESUATU. Karena titik-titik itu ternyata terkumpul dalam sebuah bahasa tanpa huruf, tanpa angka, tanpa kalimat, tanpa definisi, tanpa suara, tanpa kata-kata, tanpa bentuk, tanpa rupa, tanpa warna, tanpa frekwensi, tanpa gelombang, tanpa hantaran, yang kemudian semua tanpa-tanpa tadi itu diringkas dengan sebutan bahasa QALAM. Bahasa tanpa bahasa. Bahasa GETARAN KEMENGERTIAN.

Subhanalllah…!. Bahasa Qalam inilah yang berhasil dibaca oleh Rasulullah, sehingga Beliau mampu mendapatkan pengertian yang utuh dan bulat tentang segala sesuatu apapun juga. Beliau menjadi mengerti tentang apa-apa yang sebelumnya tidak atau belum Beliau mengerti. Beliau mampu memahami tentang “untuk apa manusia hidup, dan untuk apapula manusia ini harus mati”. Begitu juga…, Beliau menjadi mengerti tentang SANG INI, ALLAH. Beliau menjadi memahami tentang Yang Awal dan Yang Akhir. TOTALITAS pemahaman Beliau itu mampu melintas ruang, waktu, zaman, dan alam eksistensial, dimana kesemua itu telah berkumpul menjadi DISINI dan SAAT INI. Dan SANG INI meliputi dengan tepat DISINI dan SAAT INI.

Pangeran Mbeling

Tidak ada komentar:

Posting Komentar