DOSA-DOSAMU JANGAN MEMUTUS ISTIQOMAHMU
"Manakala
anda terjerumus dalam dosa, janganlah kenyataan itu membuatmu putus asa dalam
meraih
Istiqomahmu
dengan Tuhanmu. Kadang-kadang, – siapa tahu – itulah akhir dosa yang
ditakdirkan oleh Allah padamu.”
Jadikan
keterjerumusan itu sebagai pintu taubat dan inabah demi beharap kepada Allah
Ta’ala, sekaligus sebagai pintu khauf (rasa takut) kepadaNya. Sebab putus asa
terhadap rahmat Allah itu bentuk tipudaya yang gelap, bahkan syetan harus
berputus asa karena tidak mampu memperdayai anda dibalik tindakan dosa itu.
Imam
Al-Ghazaly ra, menegaskan, “Sebagaimana dosa merebut anda, dan kembali kepada
dosa sebagai aktivitas anda, maka jadikanlah taubat dan kembali kepadaNya
sebagai aktivitas. Karena orang yang beristighfar tidak akan mengulang-ulang
dosanya, walau ia mengulang tujuhpuluh kali setiap harinya.”
Kita bisa mengambil pelajaran dari Fir’aun, yang dosanya benar-benar memuncak dan paling besar, toh Allah Ta’ala masih memerintahkan kepada Nabi Musa as dan Nabi Harun as, “Katakan padanya dengan kata-kata yang lembut, siapa tahu ia bisa tersadarkan atau ia memiliki rasa gentar dan takut (Kepada Allah Swt).” (Thaha 44)
Betapa
banyak orang yang kembali bertobat dan menjadi Istiqomah gara-gara perbuatan
dosanya, dan sebaliknya betapa banyak orang yang akhirnya malah maksiat
gara-gara ibadahnya, dimana ia bangga dengan prestasi amal ibadah, lalu takjub
pada diri sendiri, kemudian riya’ dan takabur.
Optimisme
pada rahmat dan anugerah Allah Ta’ala harus menjadi titik utama ke depan.
Karena bila manusia bertaubat dengan taubatan Nasuha, malah seluruh dosanya diampuni.
Tetapi
jangan sampai manusia meremehkan perbuatan dosa dengan beralibi, “Allah Maha
Ampun, atau ampunan Allah lebih besar dibanding dosanya, atau apa artinya
dosaku kalau dibanding rahmat Allah….” dst. Yang menggiring seseorang terbelit
dosa terus menerus.
Pandangan Ibnu Athaillah untuk mengingatkan kita agar kita tidak putus asa pada RahmatNya, bahkan dalam kondisi terpuruk oleh dosa sekali pun.
Allah
Swt, justru menghampiri kepada para pendosa agar kembali kepadaNya, karena
dibalik “kembali” itu ada “cinta” yang begitu agung dariNya. Cinta itu sangat
luhur dan besar nilainya disbanding apa pun. “Sesungguhnya Allah mencintai
orang-orang yang taubat.” Begitu ditegaskan dalam Al-Qur’an.
Bahkan di awal kitab Al-Hikam ini disebutkan, “Tanda-tanda manusia bergantung dan mengandalkan amalnya, adalah kehilangan harapan (terhadap rahmat Allah) ketika berbuat dosa.”
Rasa
kehilangan akan harapan ampunan dan rahmat adalah bentuk pesimisme yang
berbahaya, karena pada saat yang sama seseorang tidak menggantungkan diri pada
Sang Pencipta Amal, malah menggantungkan pada amal itu sendiri yang diklaim
sebagai perbuatannya.
Padahal
amal baik tidak menjamin seseorang masuk syurga, dan amal buruk tidak otomatis
seseorang pasti masuk neraka. Masuk neraka itu semata karena keadilan Allah,
dan masuk syurga karena rahmat dan ridhoNya.
Bila anda
meraih rahmat dan ridhoNya, maka taat dan kepatuhan anda sebagai tanda
memang anda ditakdirkan masuk syurga. Sedangkan bagi mereka yang mendapat
keadilan Allah Swt, (na’udzubillahi min dzaalik) seseorang ditandai dengan
berbuat maksiat dan menuruti nafsunya belaka di dunia.
SufiNews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar